Fabel
PERLOMBAAN
ANTARA KELINCI DAN KURA-KURA
Di sebuah
hutan kecil di pinggir desa ada seekor kelinci yang sombong. Dia suka mengejek
hewan – hewan lain yang lebih lemah. Hewan – hewan lain seperti kura – kura,
siput, semut dan hewan – hewan kecil lain tidak ada yang suka pada kelinci yang
sombong itu.
Suatu hari, si kelinci berjalan dengan angkuhnya mencari lawan yang lemah untuk diejeknya. Kebetulan dia bertemu dengan kura – kura.
Suatu hari, si kelinci berjalan dengan angkuhnya mencari lawan yang lemah untuk diejeknya. Kebetulan dia bertemu dengan kura – kura.
Kelinci :
“Hei, kura – kura, si lambat, kamu jangan jalan aja dong…..lari begitu, biar
cepat sampai.”
Kura – kura : “Biarlah kelinci, memang jalanku lambat. Yang penting aku sampai dengan selamat ke tempat tujuanku, daripada cepat – cepat nanti jatuh dan terluka.”
Kelinci : “Hei kura – kura, bagaimana kalau kita adu lari. Kalau kau bisa menang, aku akan beri hadiah apapun yang kau minta.”
Kura – kura : “Biarlah kelinci, memang jalanku lambat. Yang penting aku sampai dengan selamat ke tempat tujuanku, daripada cepat – cepat nanti jatuh dan terluka.”
Kelinci : “Hei kura – kura, bagaimana kalau kita adu lari. Kalau kau bisa menang, aku akan beri hadiah apapun yang kau minta.”
Padahal di
dalam hati kelinci berkata.
Kelinci :
“Mana mungkin dia akan bisa mengalahkanku.”
Kura – kura : “Wah, kelinci mana mungkin aku bertanding adu cepat denganmu, kamu bisa lari dan loncat dengan cepat, sedangkan aku berjalan selangkah demi selangkah sambil membawa rumahku yang berat ini.”
Kelinci : “Nggak bisa, kamu nggak boleh menolak tantanganku ini. Pokoknya besok pagi aku tunggu kau di bawah pohon beringin. Aku akan menghubungi pak serigala untuk menjadi wasitnya.”
Kura – kura : “Wah, kelinci mana mungkin aku bertanding adu cepat denganmu, kamu bisa lari dan loncat dengan cepat, sedangkan aku berjalan selangkah demi selangkah sambil membawa rumahku yang berat ini.”
Kelinci : “Nggak bisa, kamu nggak boleh menolak tantanganku ini. Pokoknya besok pagi aku tunggu kau di bawah pohon beringin. Aku akan menghubungi pak serigala untuk menjadi wasitnya.”
Kura – kura
hanya bisa diam melongo. Di dalam hatinya berkata.
Kura – kura
: “Mana mungkin aku bisa mengalahkan kelinci ?”
Keesokan
harinya si kelinci menunggu dengan sombongnya di bawah pohon beringin. Pak
serigala juga sudah datang untuk menjadi wasit. Setelah kura – kura datang pak
serigala berkata.
Pak serigala
: “Peraturannya begini, kalian mulai dari pohon garis di sebelah sana yang di
bawah pohon mangga itu. Kalian bisa lihat nggak ?”
Kelinci : “Bisa….”
Kura – kura : “Bisa….”
Pak serigala : “Nah siapa yang bisa datang duluan di bawah pohon beringin ini, itulah yang menang.” Oke,……satu……dua……tiga……mulai !”
Kelinci segera meloncat mendahului kura – kura, yang mulai melangkah pelan karena dia tidak bisa meninggalkan rumahnya.
Kelinci : “Bisa….”
Kura – kura : “Bisa….”
Pak serigala : “Nah siapa yang bisa datang duluan di bawah pohon beringin ini, itulah yang menang.” Oke,……satu……dua……tiga……mulai !”
Kelinci segera meloncat mendahului kura – kura, yang mulai melangkah pelan karena dia tidak bisa meninggalkan rumahnya.
Kelinci :
“Ayo kura – kura, lari dong !” Baiklah aku tunggu disini ya….”
Kelinci
duduk sambil bernyanyi. Angin waktu itu berhembus pelan dan sejuk, sehingga
membuat kelinci mengantuk dan tak lama kemudian kelinci pun tertidur.
Dengan pelan tapi pasti kura – kura melangkah sekuat tenaga. Dengan diam – diam dia melewati kelinci yang tertidur pulas. Beberapa langkah lagi dia akan mencapai garis finish. Ketika itulah kelinci bangun. Betapa terkejutnya dia melihat kura – kura sudah hampir mencapai finish sekuat tenaga dia berlari dan meloncat untuk mengejar kura – kura. Namun sudah terlambat, kaki kura – kura telah menyentuh garis finish dan pak serigala telah memutuskan bahwa pemenangnya adalah kura – kura. Si kelinci sombong terdiam terhenyak, seolah tak percaya bahwa dia bisa tertidur. Jadi siapa pemenangnya ya kura – kura.
Dengan pelan tapi pasti kura – kura melangkah sekuat tenaga. Dengan diam – diam dia melewati kelinci yang tertidur pulas. Beberapa langkah lagi dia akan mencapai garis finish. Ketika itulah kelinci bangun. Betapa terkejutnya dia melihat kura – kura sudah hampir mencapai finish sekuat tenaga dia berlari dan meloncat untuk mengejar kura – kura. Namun sudah terlambat, kaki kura – kura telah menyentuh garis finish dan pak serigala telah memutuskan bahwa pemenangnya adalah kura – kura. Si kelinci sombong terdiam terhenyak, seolah tak percaya bahwa dia bisa tertidur. Jadi siapa pemenangnya ya kura – kura.
Hikayat
GUNUNG TIDAR DAN TOMBAK KIAI PANJANG
Di Magelang terdapat sebuah bukit yang berada di
tengah-tengah kota. Bukit itu sangat terkenal karena menjadi salah satu tempaan
para taruna AKABRI. Bahkan bukit itu menjadi salah satu ciri khas kota itu.
Namanya bukit Tidar, atau lebih dikenal sebagai Gunung Tidar. Konon Gunung
Tidar merupakan pusat atau titik tengah Pulau Jawa.
Syahdan, dahulu kala Tanah Jawa ini masih berupa
hutan belantara yang tiada seorangpun berani tinggal di sana. Sebagian besar
wilayah Jawa ini dahulu masih dikuasai berbagai makhluk halus. Konon Tanah Jawa
yang dikelilingi laut ini bak perahu yang mudah oleng oleh ombak laut yang
besar. Maka melihat itu para dewata segera mencari cara untuk mengatasinya.
Maka berkumpullah para dewa untuk membahas
persoalan Tanah Jawa yang tidak pernah tenang oleh hantaman ombak itu.
Diutuslah sejumlah dewa untuk tugas menenangkan pulau ini. Mereka membawa
sejumlah bala tentara menuju Pulau Jawa sebelah barat. Namun, tiba-tiba Pulau
Jawa kembali oleng dan berat sebelah karena para dewa dan bala tentara hanya
menempati wilayah barat. Agar seimbang, sebagian dikirim ke timur. Namun usaha
ini tetap gagal.
Melihat kenyataan itu maka para dewa sibuk
mencari jalan pemecahan. Setelah beberapa waktu berembug, maka didapatkanlah
sebuah ide cemerlang. Mau tak mau para dewa harus menciptakan sebuah paku
raksasa, dan paku itu akan ditancapkan di pusat Tanah Jawa, yaitu titik tengah
yang dapat menjadikan Pulau Jawa seimbang. Paku raksasa yang ditancapkan itu
konon dipercaya sebagian masyarakat sebagai Gunung Tidar. Dan setelah paku
raksasa itu ditancapkan, Pulau Jawa menjadi tenang dari hantaman ombak.
Menurut kepercayaan sebagian masyarakat, Gunung
Tidar pada mulanya hanya ditinggali oleh para jin dan setan yang konon dipimpin
oleh salah satu jin bernama Kiai Semar. Kiai Semar tidak sama dengan tokoh
Semar dalam dunia pewayangan. Kiai Semar yang menguasai Gunung Tidar ini konon
jin sakti yang terkenal seram. Setiap ada manusia yang mencoba untuk tinggal di
sekitar Gunung Tidar, maka tak segan Kiai Semar mengutus anak buahnya yang
berupa raksasa-raksasa dan genderuwo untuk memangsanya.
Alkisah, datanglah seorang manusia yang terkenal
berani untuk mencoba membuka wilayah Tidar untuk ditinggali. Ksatria berani ini
berasal dari tanah jauh. Konon ia berasal dari negeri Turki, bernama Syekh
Bakir dan ditemani Syekh Jangkung. Kedua syekh ini disertai juga oleh tujuh
pasang manusia, dengan harapan dapat mengembangkan masyarakat yang kelek
mendiami wilayah itu.
Mendengar kabar itu, Kiai Semar murka.
Diseranglah mereka oleh anak buah Kiai Semar, dan tiada seorangpun yang selamat
kecuali Syekh Bakir yang sakti, soleh, dan sabar. Setelah bertapa selama 40
hari 40 malam, ia bertemu dengan Kiai Semar.
“Hei, Ki Sanak, berani benar kau berada di
wilayah kekuasaanku tanpa permisi. Siapakah engkau dan apa maumu berada di
wilayah ini,” kata Kiai Semar.
“Duh penguasa wilayah Tidar, ketahuilah olehmu
bahwa namaku Syekh Bakir, asalku dari negeri Turki nun jauh di sana. Adapun
kedatanganku kemari untuk membuka tempat dan aku akan tinggal di sini bersama
saudara dan sahabatku,” jawab Syekh Bakir dengan tenang.
“Adakah kau tahu bahwa daerah ini adalah daerah
kekuasaanku? Siapapun tak boleh tinggal di sini. Jika tiada peduli, maka akau
akan mnegutus anak buahku untuk menumpas kalian tanpa sisa.”
“Hai engkau yang mengaku sebagai penguasa Gunung
Tidar, tidakkah kau tahu bahwa tiada yang dapat melebihi kekuasaan Allah? Allah
menciptakan manusia untuk menjaga dan memelihara alam semesta ini, bukan untuk
menguasainya secara semena-mena,” kata Syekh Bakir.
“Hei manusia, sebelum kemarahanku memuncak,
tinggalkan tempat ini! Ketahuilah bahwa tempat ini sudah menjadi milikku, dan
jangan mencoba merampasnya.” Syekh Bakir terdiam.
Mendengar ancaman Kiai Semar, ia lalu mengalah.
Tetapi bukan berarti ia menyerah kalah. Tetapi sebaliknya Syekh Bakir hendak
menyiapkan diri lebih baik untuk mengalahkan Kiai Semar dan bala tentaranya.
Sesampai di negeri Turki, ia mengambil sebuah
tombak sakti yang bernama Kiai Panjang. Selain itu, iapun menyiapkan lebih
banyak lagi manusia yang akan diajak serta untuk membuka tempat tinggal baru di
Tidar.
Sesampai kembali di Tidar, berpasang-pasang
manusia yang diajak serta oleh Syekh Bakir tinggal lebih dulu di daerah sebelah
timur Gunung Tidar yang sekarang dikenal dengan nama desa Trunan. Konon desa
itu berasal dari makna “turunan”. Ada yang mengatakan arti dari turunan itu
adalah keturunan, tetapi ada yang menganggapnya sebagai daerah pertama kali
sahabat-sahabat Syekh Bakir diturunkan dan tinggal di tempat itu untuk
sementara waktu.
Setelah itu Syekh Bakir berangkat sendiri ke
puncak Gunung Tidar untuk bersemadi. Tombak pusaka sakti Syekh Bakir ditancapkan
tepat di puncak Tidar sebagai penolak bala. Dan benar, tombak sakti itu
menciptakan hawa panas yang bukan main bagi Kiai Semar dan wadyabalanya.
Merekapun lari tunggang langgang meninggalkan
Gunung Tidar. Kiai Semar dan sebagian tentaranya melarikan diri ke timur dan
konon hingga sekarang menempati daerah Gunung Merapi yang masih dipercaya
sebagian masyarakat sebagai wilayah yang angker. Bahkan sebagian lagi anak buah
Kiai Semar ada yang melarikan diri ke alas Roban, bahkan ke Gunung Srandil.
Tombak itu sekarang masih dijaga oleh masyarakat dan dimakamkan di puncak
Gunung Tidar dengan nama Makam Tombak Kiai Panjang.
Dengan adanya tombak sakti itu, maka amanlah
Gunung Tidar dari kekuasaan para jin dan makhluk halus. Syekh Bakirpun akhirnya
memboyong sahabat-sahabatnya untuk membuka tempat tinggal baru di Gunung Tidar
dan sekitarnya.
Mitos
Pantai Parangtritis, Antara
Keindahan Pantai dan Mitos Ratu Kidul
Di pesisir selatan Yogyakarta, terdapat sekitar 13
obyek pantai yang memiliki pesona wisata, ternyata Pantai Parangtritis yang
selalu menempati peringkat teratas dalam angka kunjungan wisata, dibanding
pantai-pantai lainnya. Pantai yang Berlokasi sekitar 27 Km dari kota Yogyakarta
ini, dapat dicapai melalui desa Kretek atau rute yang lebih panjang, tetapi
pemandangannya lebih indah yaitu melalui Imogiri dan desa Siluk.
Pantai yang termasuk wilayah Bantul ini merupakan
pantai yang landai, dengan bukit berbatu, pesisir dan berpasir putih serta
pemandangan bukit kapur di sebelah utara pantai. Di kawasan ini wisatawan dapat
berkeliling pantai menggunakan bendi dan kuda yang disewakan dan dikemudikan
oleh penduduk setempat. Selain terkenal sebagai tempat rekreasi, parangtritis
juga merupakan tempat keramat. Banyak pengunjung yang datang untuk bermeditasi.
Pantai ini merupakan salah satu tempat untuk melakukan upacara Labuhan dari
Kraton Yogyakarta.
Pada musim kemarau, angin bertiup kencang seperti tak
mau kalah dengan deburan ombak yang rata-rata setinggi 2-3 meter. Sering
terdengar kabar ada pengunjung pantai selatan hilang terseret gelombang.
Anehnya, jenazah pengunjung yang nahas itu, menghilang bagaikan ditelan bumi.
Tim SAR rata-rata baru bisa menemukan jenazahnya 2-3 hari kemudian setelah
melakukan penyisiran. Biasanya, lokasi penemuan mayat tidak pada area di mana
pengunjung tersebut tertelan ombak. Mayat ditemukan ratusan meter, bahkan
kadang beberapa kilometer dari lokasi semula.
Di kalangan masyarakat setempat, kejadian misterius semacam itu, semakin menguatkan mitos bahwa penguasa laut yang lazim disebut Nyi Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan), suka "melenyapkan" orang yang tidak mengindahkan kaidah alam. Dari sisi ilmiah, kejadian semacam itu makin menguatkan teori bahwa palung laut selatan Jawa memang sarat arus bawah yang terus bergerak. Benda apa saja yang terseret ombak dari bibir pantai, terseret ke bawah dan terdampar pada lokasi berbeda.
Di kalangan masyarakat setempat, kejadian misterius semacam itu, semakin menguatkan mitos bahwa penguasa laut yang lazim disebut Nyi Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan), suka "melenyapkan" orang yang tidak mengindahkan kaidah alam. Dari sisi ilmiah, kejadian semacam itu makin menguatkan teori bahwa palung laut selatan Jawa memang sarat arus bawah yang terus bergerak. Benda apa saja yang terseret ombak dari bibir pantai, terseret ke bawah dan terdampar pada lokasi berbeda.
Kepercayaan masyarakat setempat tentang legenda Nyi
Roro Kidul juga dengan sendirinya melahirkan pesona tersendiri. Hampir setiap
malam Jumat Kliwon dan Selasa Kliwon, para pengunjung maupun nelayan setempat
melakukan upacara ritual di pantai tersebut. Acara ritual diwarnai pelarungan
sesajen dan kembang warna-warni ke laut. Puncak acara ritual biasanya terjadi
pada malam 1 Suro, dan dua-tiga hari setelah hari raya Idul Fitri dan Idul
Adha. Intinya, nelayan meminta keselamatan dan kemurahan rezeki dari penguasa
bumi dan langit.
Sage
Ciung Wanara
Prabu
Barma Wijaya Kusuma memerintah kerajaan Galuh yang sangat luas. Permaisurinya 2
orang. Yang pertama bernama Pohaci Naganingrum dan yang kedua bernama Dewi
Pangrenyep. Keduanya sedang mengandung. Pada bulan ke-9
Dewi Pangrenyep melahirkan seorang putra. Raja sangat bersuka cita dan sang
putra diberi nama Hariang Banga.
Hariang
Banga telah berusia 3 bulan, namun permaisuri Pohaci Naganingrum belum juga
melahirkan. Khawatir kalau-kalau Pohaci melahirkan seorang putra yang nanti
dapat merebut kasih sayang raja terhadap Hariang Banga, Dewi Pangrenyep
bermaksud hendak mencelakakan putra Pohaci.
Setelah
bulan ke-13 Pohaci pun melahirkan. Atas upaya Dewi Pangrenyep tak seorang
dayang-dayang pun diperkenankan menolong Pohaci, melainkan Pangrenyep sendiri.
Dengan kelihaian Pangrenyep, putra Pohaci diganti dengan seekor anjing. Dikatakannya bahwa Pohaci telah melahirkan seekor anjing. Bayi Pohaci dimasukkannya dalam kandaga emas disertai telur ayam dan dihanyutkannya ke sungai Citandui.
Dengan kelihaian Pangrenyep, putra Pohaci diganti dengan seekor anjing. Dikatakannya bahwa Pohaci telah melahirkan seekor anjing. Bayi Pohaci dimasukkannya dalam kandaga emas disertai telur ayam dan dihanyutkannya ke sungai Citandui.
Karena
aib yang ditimbulkan Pohaci Naganingrum yang telah melahirkan seekor anjing,
raja sangat murka dan menyuruh Si Lengser (pegawai istana) untuk membunuh
Pohaci. Si Lengser tidak sampai hati melaksanakan perintah raja terhadap
Pohaci, permaisuri junjungannya. Pohaci diantarkannya ke desa tempat
kelahirannya, namun dilaporkannya telah dibunuh.
Adalah
seorang Aki bersama istrinya, Nini Balangantrang, tinggal di desa Geger Sunten
tanpa bertetangga. Sudah lama mereka menikah, tetapi belum dikarunia anak.
Suatu malam Nini bermimpi kejatuhan bulan purnama. Mimpi itu diceritakannya
kepada suami dan sang suami mengetahui takbir mimpi itu, bahwa mereka akan
mendapat rezeki. Malam itu juga Aki pergi ke sungai membawa jala untuk
menangkap ikan.
Betapa
terkejut dan gembira ia mendapatkan kandaga emas yang berisi bayi beserta telur
ayam, Mereka asuh bayi itu dengan sabar dan penuh kasih sayang. Telur ayam itu
pun mereka tetaskan, mereka memeliharanya hingga menjadi seekor ayam jantan
yang ajaib dan perkasa. Anak angkat ini mereka beri nama Ciung Wanara.
Setelah
besar bertanyalah Ciung Wanara kepada ayah dan ibu angkatnya. Terus terang Aki
dan Nini menceritakan tentang asal-usul Ciung Wanara. Setelah mendengar cerita
ayah dan ibu angkatnya, tahulah Ciung Wanara akan dirinya.
Suatu
hari Ciung Wanara pamit untuk menyabung ayamnya dengan ayam raja, karena
didengarnya raja gemar menyabung ayam. Taruhannya ialah, bila ayam Ciung Wanara
kalah ia rela mengorbankan nyawanya. Tetapi bila ayam raja kalah, raja harus
bersedia mengangkatnya menjadi putra mahkota. Raja menerima dengan gembira
tawaran tersebut.
Sebelum
ayam berlaga, ayam Ciung Wanara berkokok dengan anehnya, melukiskan peristiwa
benahun-tahun yang lampau tentang permaisuri yang dihukum mati dan kandaga emas
yang berisi bayi yang dihanyutkan. Raja tidak menyadari hal itu, tetapi
sebaliknya Si Lengser sangat terkesan akan hal itu.Bahkan ia menyadari sekarang
Ciung Wanara yang ada di hadapannya adalah putra raja sendiri.
Setelah
persabungan, ayam baginda kalah dan ayam Ciung Wanara menang. Raja menepati
janji dan Ciung Wanara diangkat menjadi putra mahkota. Dalam pesta pengangkatan
putra mahkota, raja membagi 2 kerajaan untuk Ciung Wanara dan Hariang Banga.
Selesai pesta pengangkatan putra mahkota Si Lengser bercerita kepada raja
tentang hal yang sesungguhnya mengenai permaisuri Pohaci Naganingrum dan Ciung
Wanara.
Mendengar
cerita itii raja memerintahkan pengawal agar Dewi Pehgrenyep ditangkap.
Akibatnya timbul perkelahian antara Hariang Banga dengan Ciung Wanara. Tubuh
Hariang Banga dilemparkan ke seberang sungai Cipamali yang sedang banjir besar.
Sejak itulah kerajaan Galuh dibagi menjadi 2 bagian dengan batas sungai
Cipamali. Di bagian barat diperintah oleh Hariang Banga. Orang-orangnya
menyenangi kecapi dan menyenangi pantun. Sedangkan bagian timur diperintah oleh
Ciung Wanara. Orang-orangnya menyenangi wayang kulit dan tembang. Kegemaran
penduduk akan kesenian tersebut masih jelas dirasakan sampai sekarang.
legenda
LEGENDA RATU
PANTAI UTARA PEKALONGAN
Dewi Lanjar sampai sekarang masih merupakan legenda yang hidup didalam masyarakat dan masih berpengaruh dalam jiwa masyarakat terutama di Pekalongan. Dalam segala peristiwa sering kali dihubungkan dengan Dewi Lanjar, apabila ada anak yang sedang bermain-main dipantai hilang tentu mereka berpendapat bahwa si anak itu dibawa Dewi Lanjar. Dan bilamana dapat diketemukan kembali tentulah si anak menyatakan dirinya tersesat disuatu daerah atau suatu kraton yang penghuni-penghuninya juga seperti kita-kita ini. Mereka mempunyai kegiatan membatik, berdagang, menukang, nelayan dan lain-lain yang tidak ubahnya seperti didalam kota saja. Daerah tersebut dikuasai oleh seorang Putri yang cantik ialah Dewi Lanjar.
Diceritakan
pada jaman dahulu di suatu tempat Kota Pekalongan hiduplah seorang putri yang
sangat cantik jelita, sampai sekarang masih menjadi pembicaraan penduduk,
tempat yang terkenal dengan nama Dewi Rara Kuning. Adapun tempat tinggalnya
tiada dapat diketahui secara pasti.
Dalam
menempuh gelombang hidupnya Dewi Rara Kuning mengalami penderitaan yang sangat
berat, sebab dalam usia yang sangat muda ia sudah menjadi janda. Suaminya
meninggal dunia setelah beberapa waktu melangsungkan pernikahannya. Maka dari
itulah Dewi Rara Kuning kemudian terkenal dengan sebutan Dewi Lanjar. ( Lanjar
sebutan bagi seorang perempuan yang bercerai dari suaminya dalam usia yang
masih muda dan belum mempunyai anak ). Sejak ditinggal suaminya itu Dewi Lanjar
hidupnya sangat merana dan selalu memikirkan suaminya saja. Hal yang demikian
itu berjalan beberapa waktu lamanya, tetapi lama kelamaan Dewi Lanjar sempat
berpikir kembali bahwa kalau dibiarkan demikian terus akan tidak baik
akibatnya. Maka dari itulah ia kemudian memutuskan untuk pergi meninggalkan
kampung halamannya, merantau sambil menangis hatinya yang sedang dirundung
malang.
Tersebutlah,
perjalanan Dewi Lanjar sampai disebuah sungai yaitu sungai Opak. Ditempat ini
kemudian bertemu dengan Raja Mataram bersama Mahapatih Singaranu yang sedang
bertapa ngapung diatas air di sungai itu. Dalam pertemuan itu Dewi Lanjar
mengutarakan isi hatinya serta pula mengatakan tidak bersedia untuk menikah
lagi. Panembahan Senopati dan Mahapatih Singoranu demi mendengar tuturnya
tergaru dan merasa kasihan. Oleh karena itu dinasehatinya agar bertapa di
Pantai Selatan serta pula menghadap kepada Ratu Kidul. Setelah beberapa saat
lamanya, mereka berpisahan serta melanjutkan perjalanan masing-masing,
Panembahan dan Senopati beserta patihnya melanjutkan bertapa menyusuri sungai
Opak sedangkan Dewi Lanjar pergi kearah Pantai Selatan untuk menghadap Ratu
Kidul.
Dikisahkan
bahwa Dewi Lanjar sesampainya di Pantai Selatan mencari tempat yang baik untuk
bertapa. Karena ketekunan dan keyakinan akan nasehat dari Raja Mataram itu
akhirnya Dewi Lanjar dapat moksa ( hilang ) dan dapat bertemu dengan Ratu
Kidul.
Dalam
pertemuan itu Dewi Lanjar memohon untuk dapat menjadi anak buahnya, dan Ratu
Kidul tiada keberatan. Pada suatu hari Dewi Lanjar bersama jin - jin
diperintahkan untuk mengganggu dan mencegah Raden Bahu yang sedang membuka
hutan Gambiren ( kini letaknya disekitar jembatan anim Pekalongan dan desa
Sorogenen tempat Raden Bahu membuat api ) tetapi karena kesaktian Raden Bahu,
yang diperoleh dari bertapa Ngalong ( seperti Kalong / Kelelawar ), semua
godaan Dewi Lanjar dan jin - jin dapat dikalahkan bahkan tunduk kepada Raden
Bahu. Karena Dewi Lanjar tiada berhasil menunaikan tugas maka ia memutuskan
tidak kembali ke Pantai Selatan, akan tetapi kemudian memohon ijin kepada Raden
Bahu untuk dapat bertempat tinggal di Pekalongan. Oleh Raden Bahu disetujui
bahkan pula oleh Ratu Kidul. Dewi Lanjar diperkenankan tinggal dipantai utara
Jawa Tengah terutama di Pekalongan. Konon letak keraton Dewi Lanjar terletak
dipantai Pekalongan disebelah sungai Slamaran. ( Sumber Kantor Pariwisata &
Kebudayaan )
Parabel
Malin Kundang
Pada suatu hari, hiduplah sebuah keluarga di pesisir pantai wilayah
Sumatra. Keluarga itu mempunyai seorang anak yang diberi nama Malin Kundang.
Karena kondisi keluarga mereka sangat memprihatinkan, maka ayah malin
memutuskan untuk pergi ke negeri seberang.
Besar harapan malin dan ibunya, suatu hari nanti ayahnya pulang dengan
membawa uang banyak yang nantinya dapat untuk membeli keperluan sehari-hari.
Setelah berbulan-bulan lamanya ternyata ayah malin tidak kunjung datang, dan
akhirnya pupuslah harapan Malin Kundang dan ibunya.
Setelah Malin Kundang beranjak dewasa, ia berpikir untuk mencari nafkah di
negeri seberang dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung halaman, ia
sudah menjadi seorang yang kaya raya. Akhirnya Malin Kundang ikut berlayar
bersama dengan seorang nahkoda kapal dagang di kampung halamannya yang sudah
sukses.
Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran
pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman. Malin belajar dengan tekun
tentang perkapalan pada teman-temannya yang lebih berpengalaman, dan akhirnya
dia sangat mahir dalam hal perkapalan.
Banyak pulau sudah dikunjunginya, sampai dengan suatu hari di tengah
perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak
laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh
bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal
tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang sangat beruntung dirinya
tidak dibunuh oleh para bajak laut, karena ketika peristiwa itu terjadi, Malin
segera bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu.
Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang
ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin
Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Sesampainya di desa
tersebut, Malin Kundang ditolong oleh masyarakat di desa tersebut setelah
sebelumnya menceritakan kejadian yang menimpanya. Desa tempat Malin terdampar
adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja,
Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak
kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah
menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi
istrinya.
Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran dengan
kapal yang besar dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang
banyak. Ibu Malin Kundang yang setiap hari menunggui anaknya, melihat kapal
yang sangat indah itu, masuk ke pelabuhan. Ia melihat ada dua orang yang sedang
berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah
anaknya Malin Kundang beserta istrinya.
Malin Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup
dekat, ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin
yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang. "Malin Kundang,
anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?", katanya
sambil memeluk Malin Kundang. Tetapi Kundang segera melepaskan pelukan ibunya
dan mendorongnya hingga terjatuh. "Wanita tak tahu diri, sembarangan saja
mengaku sebagai ibuku", kata Malin Kundang pada ibunya. Malin Kundang
pura-pura tidak mengenali ibunya, karena malu dengan ibunya yang sudah tua dan
mengenakan baju compang-camping. "Wanita itu ibumu?", Tanya istri
Malin Kundang. "Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura mengaku
sebagai ibuku agar mendapatkan harta ku", sahut Malin kepada istrinya.
Mendengar pernyataan dan diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu Malin
Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena
kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menengadahkan tangannya sambil berkata
"Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah
batu". Tidak berapa lama kemudian angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat
datang menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang
perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu
karang.
0 komentar:
Posting Komentar